Matahari mulai memancarkan sinarnya yang terik hingga menusuk lapisan kulit. Aroma bau sangat menusuk hidung.
Kami tetapkan langkah kaki kami keluar dari mobil yang kami tumpangi, tanah yang agak lembek sehabis hujan tadi pagi masih meninggalkan bekas di Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang yang membuat alas kaki kami kotor.
Kami tak peduli lagi dengan alas kaki kami, segera kami arahkan pandangan kami ke sebuah warung tepat di bawah gunungan sampah itu.
Senyuman hangat dari beberapa penduduk pemukiman menambah semangat kami untuk menelusuri kehidupan di bawah gunung sampah tersebut. Seusai menyapa beberapa orang di sebuah tempat yang ‘mereka sebut warung’, kami lanjutkan langkah kaki kami. Sebuah jembatan bambu yang agak reyot menanti kami di penghujung jalan. Jembatan yang menjadi penghubung antara sumber mata pencaharian mereka dengan tempat tinggal mereka. Kami saling bertatapan satu sama lain kala melihat tiga batang bambu yang menjadi sebuah penghubung.
Di bawah jembatan tersebut ada jurang yang amat dalam. Kami pun saling bertatapan dengan ngeri membayangkan ‘Bagaimana kalau nanti kami jatuh? Apalagi jembatan ini tak ada penyangga ataupun pegangannya.’ Kembali kami kuatkan tekad untuk tetap menyebrangi jembatan itu, akhirnya kami tiba di sebuah pemukiman yang dikelilingi sampah, gerobak dan beberapa baju yang sedang dijemur di depan rumah.
Siang itu kami bertemu dengan tiga gadis cilik, Lina, Putri, dan Fintasia yang sedang memungut krayon, tempat pensil, dan alat menggambar lainnya di parit yang sudah mengering. Sementara di dekat mereka ada sekumpulan pemuda yang sedang duduk-duduk di sebuah warung sambil mengisi waktu istirahat. Para pemuda tersebut adalah para pengumpul sampah di tempat yang mereka sebut “Bulog” sehari-hari.
Putri, seorang gadis cilik berusia 10 tahun yang berasal dari daerah Jawa Tengah ini sedang mengenyam pendidikan di kelas 3 sekolah dasar. Setiap harinya ia pergi ke sekolah sampai pukul 1 siang, sepulang sekolah ia akan membantu Ayahnya mengumpulkan barang-barang yang ia anggap berharga di “Bulog”. Gadis cantik dengan rambut hitam panjang ini tampak begitu ceria di tengah kesederhanaan dan keterbatasan yang mereka miliki. Kedua bola matanya yang hitam pekat menceritakan bahwa ada sebuah harapan untuk kehidupannya kelak untuk meraih cita-citanya.
Lain halnya dengan Lina, gadis yang bercita-cita menjadi guru ini hanya membantu orang tuanya mengumpulkan barang di “Bulog” pada akhir pekan. Gadis aktif dengan rambut panjang hitam terurainya menceritakan bahwa ia mempunyai 4 kakak laki-laki yang semuanya menjadi pemulung di tempat yang sama dan biasanya mereka hanya makan sekali dalam sehari, lauknya pun hanya kecap, garam, serta labu bekas dari Pasar Bulog.
Fintasia pun memiliki nasib yang tak jauh berbeda dengan Lina. Ia juga mempunyai empat kakak laki-laki, namun tidak tinggal di satu rumah yang sama. Ia juga hanya membantu kedua orang tuanya mengumpulkan barang di “Bulog” pada akhir pekan. Namun semangat dan kegigihan gadis yang duduk di kelas 4 SD ini tak menutup cita-citanya untuk menjadi perawat.
Di zaman yang kian canggih seperti sekarang ini, tidak semua anak mendapat pendidikan yang layak. Terlebih lagi pada daerah-daerah tertentu yang masih kurang terjamah oleh pemerintah, seperti halnya anak-anak di kawasan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Bantar Gebang yang kurang diperhatikan pendidikannnya.
Pernyataan tersebut dapat kita ketahui berdasarkan penuturan salah satu anak yang mengatakan bahwa ia masih duduk di kelas 4 SD, sementara usianya sudah menginjak 14 tahun. Keterlambatan ini seringkali mengakibatkan efek bagi anak-anak tersebut, seperti halnya pada psikologi mereka.
Beberapa anak beranggapan bahwa terkadang mereka merasa malu dengan teman-teman sekelasnya. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan umur yang sangat jauh di antara mereka dan teman-temannya. Kebanyakan dari teman-temannya yang berusia lebih muda seringkali mengolok-ngoloknya. Namun mereka berprinsip bahwa tidak ada kata terlambat untuk mencari ilmu, maka mereka pun tidak mengacuhkan perkataan dan ejekan teman-teman sekelasnya itu.
Di balik keterlambatan itu, semangat mereka tidak kalah dengan anak-anak lain seusianya. Oleh karena itu, mereka pun tetap memiliki cita-cita seperti anak-anak pada umumnya. Misalnya Aji, Erwin dan Adi yang mengaku bahwa mereka ingin sekali menjadi pemain sepak bola profesional seperti TimNas Indonesia. Kemudian Sofian dan Roni ingin menjadi dokter yang mampu mengobati orang-orang miskin di Indonesia, karena mereka berdua sadar bahwa pelayanan kesehatan untuk orang miskin masih saja dipersulit oleh negara. Sehingga mereka ingin membantu teman-teman dan saudaranya apabila sedang kesusahan.
Para penduduk di pemukiman Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Bantar Gebang ini mayoritas berada pada kondisi perekonomian menengah ke bawah. Sehingga kehidupan mereka pun hanya bergantung pada pekerjaan memulung ini. Menurut pengakuan Aji dan Adi, mereka hanya bisa makan ikan asin dan tempe sebagi lauknya. Lingkungan tempat tinggal mereka pun masih sangat jauh dari kata layak. Sehingga kesehatan di sekitar tempat tinggalnya, sangat rawan terkena penyakit. Namun karena mereka sudah terbiasa dengan lingkungan yang kumuh itu, maka daya tahan tubuh mereka pun telah menyesuaikan dengan kondisi yang kotor dan bau seperti TPST Bantar Gebang.
Sebagai pemulung cilik di Bantar Gebang, mereka memiliki penghasilan yang cukup memuaskan. Dalam sebulan saja, mereka mampu menghasilkan uang sebesar Rp 4.000.000,00 per keluarga. Pada suatu hari Putri pernah menemukan sebuah cincin emas dan perak di lam tumpukan sampah. Gadis berambut panjang ini kemudian menjualnya seharga Rp 500.000,00. Bayangkan jika ia menemukan minimal 4 cincin dalam dua minggu, maka berapa penghasilan yang ia dapatkan?
Bila ingin menyebut rejeki tidak ke mana maka kita bisa menengok kisah Adi yang menemukan telepon genggam, lalu ia jual telepon genggam tersebut untuk memnuhi kebutuhan hidup ia dan keluarganya sehari-hari. Mungkin saat Anda membaca tulisan ini, Anda mungkin menyadari ternyata di tempat yang kumuh dan sarang penyakit bisa menjadi lahan uang untuk beberapa orang, termasuk para pemulung yang tinggal di sana dan para pengusaha biji plastik yang meraup banyak keuntungan dari gunungan sampah itu.
Sebut saja Mr. X seorang pengusaha biji plastik yang kami temui. Dia menyampaikan bahwa usaha kotor ini masih berpotensi menghasilkan uang yang cukup besar selama 20 tahun ke depan. Kami mengamati pakaian si Mr. X ini, dia terlihat begitu rapi dengan kaos kerah yang ber-merk dan jeans mahal, serta wajahnya yang terlihat mulus. Penampilan yang terbalik dengan para pemulung di sana. Terlihat perbedaan kesenjangan sosial di sana. Para pemulung di sana bertarung nyawa dengan mezin buldozer demi sesuap nasi. Sementara orang yang bermodal besar sekedar menikmati hasil usaha dan perjuangan dari pemulung di sana.
Rutinitas yang mereka lakukan sehari-hari di gunungan sampah tersebut membawa kapada penemuan-penemuan yang cukup mengernyitkan dahi. Salah satunya, seperti yang diungkapakan oleh Adi seorang bocah cilik yang aktivitas sehari-harinya adalah bersekolah dan memulung, menceritakan bahwa ia pernah menemukan beberapa potongan tubuh manusia yang merupakan korban pembunuhan mutilasi bahkan ada juga yang merupakan jasad bayi korban aborsi.
Inilah potret kehidupan di Ibu Kota yang terkenal kejam. Dimana hukum rimba dan hukum kapitalis pun berlaku di negara yang katanya Bhineka Tunggal Ika. Namun kekejaman Ibu Kota pun luntur ketika kami melihat kedua bola mata para pemulung cilik di sana, tersimpan keceriaan dan ketulusan dan sebuah harapan untuk Indonesia yang lebih baik.
by:
Svaradiva Anurdea Devi 12140110081
Nadia Ayesha M. Soekarno 12140110088
Johanes Baginda Doli 12140110091
Ristania Tiara 12140110098
Sarah Devina 12140110101
Sofia Chandra 12140110111