Masters Semester 1

Semiotika dan Fenonenologi

Mata Kuliah FILSAFAT KOMUNIKASI

Tugas Kelompok 8:

Aisha Nabila                                  1806165441

Ayu Karwinandhi                                  1806165561

Baskoro A. Pratomo                         1806165574

Salma Nadiya Putri                          1806252870

Svaradiva Anurdea Devi                  1806166330

 

PROGRAM PASCASARJANA

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

JAKARTA

2018

 

Pendahuluan

 

Manusia memaknai setiap fenomena dalam hidupnya dengan berbeda-beda dengan manusia lainnya. Suatu obyek yang sama yang dipresentasikan pada kedua individu dalam waktu dan tempat yang sama, pasti dimaknai berbeda antara keduanya. Ketika dua individu yang berlatar belakang berbeda (misal: Individu 1 adalah warga negara AS, dan Individu 2 adalah warga negara Indonesia), dihadapkan pada satu objek yang sama—misalnya: perempuan muslim yang mengenakan niqab berwarna hitam, Individu 1 mungkin akan merasa takut dan bergerak menghindar, sementara Individu 2 mungkin akan merasa cenderung netral dan bersikap  tenang. Mengapa hal ini dapat terjadi?

Sebagai cabang ilmu sosial, Fenomena di atas dapat dijelaskan melalui dua tradisi dalam ilmu komunikasi, yakni Fenomenologi dan Semiotika. Dalam Fenomenologi, perbedaan pemaknaan ini terjadi karena adanya perbedaan Pengalaman antara masing-masing individu. Pengalaman, dalam hal ini, tidak terbatas pada kognisi dan afeksi yang terjadi di saat fenomena itu dialami saja, namun juga terkait dengan memori, persepsi, gagasan, emosi, dan berbagai aspek lainnya yang dimiliki individu sebelum menjumpai fenomena tersebut. Di sisi lain, Semiotika sebagai studi tentang tanda dan pemaknaan terhadap tanda, juga menyatakan bahwa setiap fenomena dapat diuraikan melalui sistem tanda. Mengutip Saussure (1974), Semiotika adalah “ilmu yang mempelajari peranan tanda-tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial”. Lebih lanjut, Saussure  menjabarkan pemahaman akan tanda ke dalam dua kelompok, yakni Signifier (quasi-material dari sebuah tanda, yang diwakilkan oleh tampilan, suara, bau, tekstur, dan sebagainya), dan Signified (konsep mental dari tanda tersebut, diwakili oleh sebuah nama atau istilah). Seiring perkembangannya, Semiotika tidak hanya berpedoman pada penjabaran Saussure, namun juga pada para ahli lain seperti Roland Barthes dan Charles Peirce—yang selanjutnya akan dijelaskan dalam paper ini.  

Selanjutnya, dalam kaitannya dengan Fenomenologi dan Semiotika, fenomena yang telah dijabarkan pada paragraf pembuka dapat penulis uraikan dengan analisa sebagai berikut. Individu 1, seperti telah disebutkan sebelumnya, adalah seorang Amerika, yang mungkin saja memiliki Pengalaman yang dipengaruhi oleh persepsi negatif terhadap Islam dan segala atributnya. Fenomena ini dikenal dengan Islamophobia yang menyebar secara luas di Amerika dan Eropa, yang diperkuat oleh peranan media massa. Ketika Individu 1 melihat wanita muslim ber-niqab hitam, secara kognitif ia akan mengalami dua proses dalam benaknya: Pertama, bahwa niqab hitam adalah Signifier, dan 2) Konsep ‘Islam’  sebagai Signified yang tertanam di benaknya. Sebagai reaksi dari proses kognisi tersebut, ditambah dengan Pengalamannya terdahulu, maka secara tindakan atau psikomotorik ia akan melakukan manuver standar (selayaknya orang yang takut terhadap sesuatu); yakni bergerak menghindar atau menjauhi objek. Sementara, Individu 2 yang merupakan warga Indonesia, tidak memiliki Pengalaman dan Kognisi yang sama Individu 1. Dalam Pengalamannya, Islam merupakan agama mayoritas di negaranya, dan segala atribut Islam adalah hal yang wajar dijumpai dalam kehidupan sehari-hari—sehingga ia bersikap netral dan cenderung tenang saja ketika melihat perempuan ber-niqab hitam.

Dalam pemaparan singkat di atas, dapat diamati bahwa secara filosofis kedua individu di atas sesungguhnya memaknai fenomena dengan dua kondisi; sadar dan tidak sadar. Jika mengacu pada konsep kesadaran (consciousness) menurut definisi fisik akan kesadaran, yakni ‘sentience’–atau kemampuan untuk merasakan sensasi fisik dan memberikan respon terhadap suatu stimulus, dan ‘wakefulness’–yakni kondisi tidak tidur, maka dapat dikatakan bahwa mereka sepenuhnya sadar. Namun, bagaimana dengan definisi mental akan kesadaran? Dapatkah mereka dikatakan ‘sadar’ akan pengalaman mereka masing-masing, yang mempengaruhi sikap mereka dalam berinteraksi di lingkungan sosial mereka? Seringkali, para individu yang berkonflik karena memiliki perbedaan pandangan, gagal untuk melakukan self-reflexivity atau melihat dirinya dari luar dirinya, sehingga mereka tidak hanya gagal menemukan penyebab perbedaan pandangan dengan individu lain, namun juga terjebak dalam pandangan egosentris yang menghambat dirinya untuk menerima perubahan dan solusi atas permasalahannya. Dengan kata lain, mereka tidak sadar akan pengalamannya sendiri.

Di sinilah peran komunikasi menjadi penting. Sebagai sebuah proses yang melibatkan penyampaian pesan antara sender dan receiver, komunikasi menyediakan ruang untuk dialog–sebuah kesempatan bagi para individu dengan berbagai pandangan dan pengalaman yang berbeda, untuk saling bertukar pikiran dan mengutarakan makna yang mereka miliki terhadap suatu fenomena dengan cara terbuka dan sehat. Karenanya, paper ini selanjutnya akan mencoba menguraikan konsep Fenomenologi dan Semiotika dalam perspektif Filsafat Ilmu Komunikasi, berikut dengan beberapa penelitian yang pernah dilakukan dan hasilnya.  Pada akhirnya, penulis berharap paper ini dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ilmu komunikasi dan juga bidang praktis–seperti pengembangan program dialog yang mampu meminimalisasi dampak miskomunikasi dalam kehidupan sosial di Indonesia.

 

PEMBAHASAN

 

Tradisi Semiotika

Seperti yang sudah kita pelajari sebelumnya, semiotika adalah sebuah studi tentang tanda/signs seperti yang diungkapkan oleh LittleJohn, Paul Long, dan Tim Wall di buku mereka masing-masing. Griffin juga menjelaskan hal serupa tentang pengertiannya yaitu studi tanda verbal dan non verbal yang bisa diartikan menjadi sesuatu yang berbeda dan bagaimana interpretasi tersebut memengaruhi masyarakat.

Ranah kajian semiotik awalnya dapat dibagi dua yaitu semiotika komunikasi yang ditemukan oleh Charles Sander Peirce (Amerika, 1839-1914) dan semiotika signifikansi yang ditemukan oleh Ferdinand de Saussure (Eropa, 1857-1913). Peirce menjadikan logika sebagai landasan teorinya sedangkan Saussure menjadikan model linguistik sebagai landasan teorinya.

  1. Peirce

Model semiotika Peirce sering disebut dengan model segitiga makna yaitu adanya tiga elemen utama pembentuk tanda, yakni :

 

  1. Representamen = sesuatu yang merepresentasikan sesuatu yang lain.
  2. Objek = sesuatu yang direpresentasikan.
  3. Interpretan = interpretasi seseorang tentang tanda.

Apabila berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda dalam tiga hal yaitu

  1. Ikon = tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiahnya.
  2. Indeks = tanda yang menunjukkan adanya hubungan antara tanda dan petanda yang bersifat kausal/sebab akibat.
  3. Simbol = tanda yang menunjukkan hubungan antara penanda dan petanda yang bersifat arbitrer/semena.

 

  1. Saussure

Berbeda dengan Peirce, Saussure lebih menekankan pada bahasa. Bahasa merupakan bagian dari sistem tanda yang mengekspresikan ide dan gagasan sehingga dapat dibandingkan dengan tulisan, huruf braille, simbol keagamaan, aturan, tanda kemiliteran, dsb. Model Saussure mempunyai dua hal penting yaitu

  1. Petanda (signifié /signifiéd) adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita.
  2. Penanda (Signifiant/signifiér) adalah citra bunyi atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran kita.
  1. Barthes

Model Barthes ini merupakan model yang paling mendetil dan merupakan perpaduan dua model sebelumnya karena tidak hanya  penanda dan pertanda juga menggunakan bahasa dan mitos.

Barthes mengembangkan semiotiknya berdasar gambar sehingga dapat disimpulkan bahwa ada dua macam konsep besar yang membangun semiotika ala Barthes yaitu bahasa dan mitos. Untuk bahasa, penanda dan petanda bisa dibagi menjadi dua yaitu :

  1. Makna denotasi

Merupakan tingkat makna lapisan pertama yang deskriptif dan literal serta dipahami oleh hampir semua anggota suatu kebudayaan tertentu tanpa harus melakukan penafsiran terlebih dahulu.

  1. Makna konotasi

 Merupakan makna lapisan kedua yang tercipta dengan cara menghubungkan pertanda-pertanda dengan aspek kebudayaan yang lebih luas seperti keyakinan-keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi suatu formasi sosial tertentu.

Lalu konsep kedua adalah mitos. Pengertian mitos adalah perkembangan dari makna konotasi yang berkembang di masyarakat. Pemaknaan itulah yang memberikan kaum mayoritas kekuatan untuk memberikan makna konotasi kepada suatu hal sehingga lama kelamaan menjadi mitos (makna yang membudaya). Ada tiga ciri-ciri mitos (Barthes, 1957) yaitu:

  1. Deformatif yaitu makna pada sistem tingkat pertama bukan lagi merupakan makna yang menunjuk pada fakta yang sebenarnya.
  2. Intensional yaitu bahwa mitos sengaja diciptakan, dikonstruksikan oleh budaya masyarakatnya dengan maksud tertentu.
  3. Motivasi yaitu mitos diciptakan karena ada motivasi di belakangnya seperti ekonomi, kepentingan politik, dsb.

 

Contoh Kasus

 

Korea dengan Hallyu wave nya sudah berhasil mencuri perhatian banyak orang di Indonesia. Diawali dengan Kpop yang mulai masuk di tahun 2007 di Surabaya sampai sekarang yang bahkan kita bisa beberapa kali dalam setahun menikmati para bintangnya hadir di Indonesia baik dalam rangka pekerjaan (menggelar konser, diundang acara di stasiun televisi swasta, ataupun roadshow dalam rangka menjadi brand ambassador dari sebuah produk kecantikan) ataupun hanya liburan.

Tidak hanya Kpop, K-Drama juga sudah sering dilirik oleh pelbagai kalangan karena dianggap lebih universal dan lebih mudah masuk ke kalangan orang Indonesia yang gemar menonton sinetron. K-Drama pun tak berbeda dengan sinetron Indonesia yang mempunyai banyak genre, dari genre drama, romantis, komedi, horor, aksi, dsb namun mereka lebih populer karena jumlah episodenya yang lebih sedikit sehingga tidak membuat jenuh para penontonnya selain tentu saja kegantengan aktor dan kecantikan aktrisnya yang tidak perlu menggunakan make up tebal setebal sinetron Indonesia.

Faktor kecantikan aktrisnya ini dianggap merupakan salah satu faktor penting mengapa K-Drama bisa laku keras. Dengan make up tipis yang lebih berhasil menciptakan aura orang di kehidupan sehari-hari membuat penonton jadi ikut terhanyut dalam cerita yang disuguhkan tanpa merasa ada keanehan. Sering kali di sinetron Indonesia kita melihat make up medhok yang digunakan oleh aktrisnya padahal situasinya tidak cocok, misal menggunakan make up lengkap padahal baru bangun tidur.

Ternyata ada faktor selain make up yang membuat wajah mereka terlihat cantik dan mempesona. Hal ini banyak diberitakan oleh media baik di Korea ataupun negara lainnya yaitu dimana wajah mereka, artis Korea, tanpa make up tidak jauh berbeda dibandingkan saat menggunakan make up. Hal ini dipercayai datang dari perawatan wajah yang mereka telah gunakan. Karenanya tidak hanya make up asal Korea, produk skincare nya pun juga ikut mencuri perhatian.

Siapa sih yang tidak mau wajah cerah dan bersinar bak Song Hae Kyo atau Lee Sung Kyung? Tidak perlu banyak make up namun wajah bisa cerah dan bercahaya. Nah berawal dari sini kita mulai mengenal tren ten step Korean skincare yaitu sepuluh langkah menggunakan skincare agar mendapatkan wajah glowy. Stepnya dimulai dengan double cleansing, cuci muka, exfoliator, toner, essence, moisturizer, serum, oil, dan masker. Kita pun ikut urun andil dalam tren ini, kita membeli banyak sekali skincare Korea dan memakai secara teratur setiap hari sambil berharap kulit cerah bak bintang Korea. Kadang kita sambil membaca review sini situ dan suka mendapati kalau ada beberapa orang di Indonesia yang mempunyai jenis wajah yang sama merasakan hasilnya.


Mari kita lihat contoh iklan perawatan wajah produk dari Korea di atas. Apabila dikaji menggunakan semiotika Barthes, maka

  • Iklan perawatan wajah asal Korea
  1. Tanda = Caption tidak terlalu banyak dan berkumpul menjadi satu, latar belakang putih, model menggunakan baju dengan warna lembut, model tidak menggunakan make up yang tebal, rambutnya digerai, dan berpose tersenyum alami.
  2. Makna denotasi = iklan perawatan wajah.
  3. Makna konotasi = apabila menggunakan produk ini maka akan secantik modelnya.
  4. Mitos = merek ini mau menampilkan contoh dari kecantikan yang bisa didapatkan setelah menggunakan produknya.
  • Iklan perawatan wajah asal Korea yang menggunakan bahan alami
  1. Tanda = penggunaan font hijau yang mengindikasikan bahan alami dan adanya gambar daun berwarna hijau di latar belakangnya.
  2. Makna denotasi = produk ini terbuat dari bahan alami.
  3. Makna konotasi = produk ini aman untuk digunakan.
  4. Mitos = produk perawatan wajah dengan bahan alami akan membuat kita lebih cantik.
  • Iklan perawatan wajah asal Korea menggunakan model orang Korea
  1. Tanda = seorang perempuan bernama Lee Sung Kyung.
  2. Makna denotasi = seorang model, artis, dan brand ambassador.
  3. Makna konotasi = Lee Sung Kyung adalah salah satu artis yang terkenal sehingga merupakan alat marketing yang baik.
  4. Mitos = merek perawatan wajah asal Korea ini percaya kalau Lee Sung Kyung lebih populer dan menarik.
  • Iklan perawatan wajah asal Korea dijual di e-commerce Indonesia
  1. Tanda = ada simbol e-commerce di kanan bawah.
  2. Makna denotasi = produk ini akan dijual hanya di e-commerce saja.
  3. Makna konotasi = toko offline hanya sedikit.
  4. Mitos = merek ini merupakan merek yang melek teknologi sehingga memanfaatkan e-commerce untuk strategi marketingnya.

 

Semiotika : Studi Literatur

Beragam studi yang menggunakan Semiotika telah banyak dilakukan, dua di antaranya akan penulis jabarkan berikut ini ;

 

Judul Penelitian :

CCTV-9’s coverage of the Iraq War and the evolution of English language television news in China

Peneliti :

Ning, Jing. Rutgers The State University of New Jersey – New Brunswick, ProQuest Dissertations Publishing, 2013.

 

Tujuan Penelitian:

  1. Bagaimana CCTV-9 membuat “suara Cina didengar di dunia internasional”
  2. Menguji pertentangan keinginan yang terjadi antar manajemen atas dengan tim produksi berita.

 

Pertanyaan umum:

  1. Bagaimana China Central 17 Television (CCTV)-English Channel (CCTV-9) meliput Perang Irak pada tahun 2003?
  2. Perubahan besar apa dari masa lalu yang dilakukan CCTV-9 selama laporannya tentang Perang Irak 2003 dan dalam hal apa perubahan ini memberikan pengaruh pada peluncuran saluran di tahun 2004 dan 2010?
  3. Apakah ini posisi CCTV-9 sebagai pesaing dengan CNN atau BBC?
  4. Apakah perubahan ini didorong ke arah berkurangnya sensor?

 

Peran semiotika dalam penelitian:

Pemeriksaan konten berita menggunakan analisis tekstual dan semiotik serta metode etnografi. Bagaimana konten-konten visual ini diberikan makna politik dan budaya?

 

  1. Judul Penelitian:

Cyberterrorism: A postmodern view of networks of terror and how computer security experts and law enforcement officials fight them

Peneliti:

Matusitz, Jonathan A.. The University of Oklahoma, ProQuest Dissertations Publishing, 2006.

Tujuan Penelitian :

Menyelidiki bagaimana cyberterrorists membuat jaringan untuk terlibat dalam aktivitas jahat melawan Internet dan komputer.

Juga untuk memahami bagaimana laboratorium keamanan komputer (di universitas) dan berbagai lembaga (seperti lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan Biro Investigasi Federal) membuat jaringan bersama dalam perjuangan mereka melawan cyberterrorists.

 

Tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan bahwa, karena sifat postmodern dari Internet, pertarungan antara jaringan cyberterrorists dan jaringan pakar keamanan komputer (dan aparat penegak hukum) adalah pertarungan postmodern.

 

Pertanyaan Penelitian:

  1. Apa yang dikemukakan oleh pakar keamanan komputer dan penegak hukum tentang jaringan cyberterrorists?
  2. Apa yang dikemukakan oleh pakar keamanan komputer dan penegak hukum tentang jaringan mereka sendiri?
  3. Bagaimana konflik dan interaksi antara cyberterrorists dan ahli keamanan komputer (dan aparat penegak hukum) dapat dijelaskan melalui penggunaan teori jaringan sosial dan teori permainan?
  4. Apa tema yang muncul di seluruh akun peserta penelitian?

 

Peran semiotika dalam penelitian:

  1. Menjelaskan bahwa cyberterrorism adalah tindakan semiotik sebagai sebuah pesan, simbol, dan imej media baru.
  2. Menjelaskan bahwa motif cyberterrorism juga untuk mengirim pesan semiotik yang membangkitkan rasa takut. Cyberterrorism adalah gerakan semiotik karena bertujuan menciptakan bukan hanya rasa takut, tetapi juga tanda-tanda ketakutan.

 

Link: https://remote-lib.ui.ac.id:2155/docview/305303467?pq-origsite=summon

 

Tentang Tradisi Fenomenologi

Teori – teori dalam tradisi fenomenologis berasumsi bahwa orang-orang secara aktif menginterpretasi pengalaman-pengalamannya dan mencoba memahami dunia dengan pengalaman pribadinya. Pendukung teori ini berpandangan bahwa cerita atau pengalaman individu lebih penting dan memiliki otoritas lebih besar daripada hipotesis penelitian. Fenomenologi berasal dari kata phenomenon, yang berarti kemunculan suatu objek, peristiwa, atau kondisi dalam persepsi seorang individu. Fenomenologi menggunakan pengalaman langsung sebagai cara untuk memahami dunia. Interpretasi merupakan hal yang sangat penting dan sentral dalam fenomenologi. Interpretasi adalah proses pemberian makna dari suatu pengalaman, yang merupakan proses aktif dari pikiran yaitu suatu tindakan kreatif dalam memperjelas pengalaman personal. Menurut pemikiran fenomenologi, orang yang melakukan interpretasi telah mengalami suatu peristiwa dan memberikan makna kepada setiap peristiwa yang dialaminya. Kondisi demikian akan berlangsung terus-menerus antara pengalaman dan pemberian makna. Stanley Deetz menyimpulkan tiga prinsip dasar fenomenologi yaitu:

  1. Pengetahuan ditemukan secara langsung dalam pengalaman sadar.
  2. Makna benda terdiri atas kekuatan benda menentukan maknanya.
  3. Bahasa merupakan kesadaran makna.

Fenomenologi dapat didefinisikan pada awalnya sebagai studi tentang struktur pengalaman, atau kesadaran. Secara harfiah, fenomenologi adalah studi tentang “fenomena” yaitu penampakan benda-benda, atau hal-hal yang muncul dalam pengalaman kita, atau cara kita mengalami hal-hal, dengan demikian makna-makna yang ada dalam pengalaman kita. Fenomenologi mempelajari pengalaman sadar seperti yang dialami dari sudut pandang subjektif atau orang pertama.

 

Fenomenologi adalah studi tentang struktur kesadaran yang dialami dari sudut pandang orang pertama. Struktur sentral dari suatu pengalaman adalah intensionalitas karena merupakan pengalaman atau tentang beberapa objek. Suatu pengalaman diarahkan ke suatu objek berdasarkan isi atau maknanya (yang mewakili objek) bersama dengan kondisi kemungkinan yang tepat. Fenomenologi secara umum dipahami dalam dua cara, yaitu sebagai bidang disiplin dalam filsafat, atau sebagai gerakan dalam sejarah filsafat. Adapun empat kajian pemikiran umum tentang kajian tradisi fenomenologis.

 

  1. Fenomenologi klasik

Menurut Edmund Husserl, seorang tokoh pendiri fenomenologi modern yang merupakan pemikir fenomenologi klasik, seseorang harus berdisiplin dalam menerima pengalaman. Dengan kata lain, pengalaman sadar individu adalah jalan yang tepat untuk menemukan realitas. Pandangan ini menyatakan bahwa dunia dapat dirasakan atau dipahami tanpa harus membawa serta berbagai kategori yang dimiliki orang yang ingin mengetahui pengalaman, karena hal tersebut dapat mempengaruhi proses merasakan pengalaman itu sendiri. Pada dasarnya, fenomenologi mempelajari struktur berbagai jenis pengalaman mulai dari persepsi, pikiran, memori, imajinasi, emosi, keinginan, dan kemauan untuk kesadaran tubuh, tindakan yang diwujudkan, dan aktivitas sosial, termasuk aktivitas linguistik. Struktur dari bentuk-bentuk pengalaman ini biasanya melibatkan apa yang disebut Husserl “intensionalitas”, yaitu keterarahan pengalaman terhadap hal-hal di dunia, milik kesadaran bahwa itu adalah kesadaran atau tentang sesuatu.

 

  1. Fenomenologi persepsi

Tokoh penting dalam fenomena persepsi adalah Maurice Merleau-Ponty. Ponty beranggapan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kesatuan fisik dan mental yang menciptakan makna terhadap dunianya. Selain itu, menurut Ponty sesuatu ada karena diketahui dan dikenali. Dengan demikian suatu objek atau peristiwa ada dalam suatu proses yang timbal balik, yaitu hubungan dialogis dimana suatu objek atau peristiwa mempengaruhi objek atau peristiwa lainnya. Berlawanan dengan Husserl yang membatasi fenomenologi pada objektivitas, Ponty menyatakan bahwa pengalaman itu subjektif, bukan objektif dan percaya bahwa subjektivitas merupakan bentuk penting sebuah pengetahuan. Baginya, manusia merupakan sosok gabungan antara fisik dan mental yang menciptakan makna di dunia ini. Marleu Ponty menjelaskan manusia adalah kesatuan dari mental dan fisik yang mengartikan atau mempersepsikan dunia. Seseorang mengetahui berbagai hal hanya melalui hubungan seseorang ke berbagai hal tersebut. Sebagaimana pada umumnya manusia, seseorang dipengaruhi oleh dunia akan tetapi seseorang juga mempengaruhi dunia terhadap pengalaman tersebut. Segala sesuatu tidak ada dengan sendirinya dan terpisah dari bagaimana semuanya diketahui. Manusia memberikan makna pada benda-benda di dunia, sehingga pengalaman fenomenologis apapun tentunya subjektif. Jadi, terdapat dialog antara manusia sebagai penafsir dan benda yang mereka tafsirkan.

 

  1. Fenomenologi hermeneutik

Martin Heidegger adalah tokoh dalam tradisi hermeneutik yang terkenal dengan karyanya yaitu philosophycal hermeneutics. Hal yang paling penting menurut Heidegger adalah pengalaman alami yang terjadi begitu saja ketika orang hidup di dunia. Realitas terhadap sesuatu tidak dapat diketahui hanya melalui analisis yang cermat, tetapi oleh pengalaman alami yang terbentuk melalui penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari.

 

  1. Fenomenologi kesadaran

Jean Paul Sartre membuat pengertian fenomenologi kesadaran dengan cara membedakan antara kesadaran reflektif dan kesadaran pra-reflektif. Kesadaran pra-reflektif adalah kesadaran yang langsung terarah pada objek perhatian (baik objek dalam kehidupan sehari-hari maupun objek dalam pemikiran atau penelitian), dimana tanpa kita sendiri berusaha untuk merefleksikannya. Misalnya ketika saya membaca sebuah buku, kesadaran tidak terarah pada perbuatan saya yang sedang membaca, melainkan pada bahan (isi buku) yang sedang saya baca. Oleh sebab itu menurut Sartre kesadaran pra-reflektif itu sebagai “kesadaran yang tidak disadari”. Sedangkan kesadaran reflektif adalah kesadaran yang membuat kesadaran pra-reflektif menjadi tematik, atau dengan kata lain, kesadaran yang membuat kesadaran yang tidak disadari menjadi “kesadaran yang disadari”. Dalam refleksi kesadaran saya tidak lagi terarah pada buku yang dibaca, melainkan kesadaran tentang perbuatan saya ketika tadi sedang membaca buku.

 

Contoh Kasus

Fenomena penistaan agama, seperti yang kita ketahui bahwa semenjak tahun 2017 santer sekali isu penistaan agama yang terjadi di Indonesia, dimulai karena Basuki Thahaja Purnama atau yang lebih dikenal dengan nama Ahok, seorang Gubernur Jakarta yang terkait kasus penistaan agama. Hal itu dimulai ketika Ahok menyampaikan pidatonya saat kampanye di Kepulauan Seribu, disana ia mengatakan sebuah kalimat “jangan mau dibohongi oleh ayat al-quran’. Semula semuanya biasa saja sampai ada seseorang yang mendengar kalimat tersebut dan membawanya ke media sosial. Ahok pada awalnya tidak menyangka bahwa perkataannya akan dianggap menistakan agama, karena sepemahaman dan pengalaman dia, dia hanya menyampaikan pendapat yang ia ketahui dan tidak bermaksud untuk menistakan ayat al-quran. Namun di mata umat islam lainnya, berpendapat bahwa kalimat tersebut adalah sebuah penistaan, karena menganggap al-quran adalah kitab suci yang harus dihormati dan tidak pantas untuk dikaitkan dengan perkataan seperti itu. Kasus penistaan lainnya terjadi di tahun ini, kejadian ini terjadi di Tanjung Balai, Medan. Dimana seorang ibu bernama Meiliana didakwa hukuman 1,5th penjara karena dianggap telah menistakan agama, hal ini terjadi karena Meiliana yang seorang umat budha merasa terganggu oleh volume adzan yang terlalu kencang di sekitar rumahnya. Meiliana pada awalnya menyampaikan kepada tetangganya untuk meminta mengecilkan volume adzan, karena Meiliana menganggap bahwa volume adzan yang berkumandang 5 kali sehari sudah terlalu keras dan ia merasa terganggu. Meiliana tidak bermaksud untuk menistakan agama, namun masyarakat sekitar Meiliana merasa tidak terima dengan permintaan dari Meiliana tersebut dan langsung menghakiminya serta mempidanakan kasus tersebut. Masyarakat sekitar yang beragama islam menganggap bahwa adzan adalah suara yang harus di dikumandangkan dengan keras karena berupa ajakan untuk sholat yang merupakan kewajiban umat muslim. Seperti menurut Ponty dalam fenomena persepsi, manusia adalah makhluk yang memiliki kesatuan fisik dan mental yang menciptakan makna terhadap dunianya. Selain itu, menurut Ponty sesuatu ada karena diketahui dan dikenali. Ponty menyatakan bahwa pengalaman itu subjektif, bukan objektif dan percaya bahwa subjektivitas merupakan bentuk penting sebuah pengetahuan. Subjektifitas dari pengalaman inilah yang kadang menyebabkan konflik karena perbedaan persepsi pemahaman suatu fenomena.

 

Fenomena selfie/swafoto

Selfie atau swafoto adalah sebuah jenis self-portrait foto, dimana biasanya diambil dengan kamera digital genggam atau kamera ponsel. Selfie juga sering dikaitkan dengan jejaring sosial, seperti Instagram. Orang-orang biasanya melakukan foto selfie dengan cara menggunakan kamera yang dipegang dengan lengan panjang atau di hadapan cermin. Foto selfie biasanya juga menggunakan ekspresi yang berlebihan di hadapan camera.

Awal Mula foto selfie ditemukan oleh Robert Cornelius yang merupakan seorang berkebangsaan Amerika yang juga seorang perintis dalam dunia fotografi. Dia membuat sebuah ekspresi dirinya sendiri pada tahun 1839 dimana ini merupakan salah satu dari foto seseorang yang pertama kali. Lalu karena proses fotonya lambat, kemudian dia mengungkap lensa yang mengalami tembakan selama satu menit atau lebih. Kemudian dia mengganti penutup lensa. Sebuah konsep meng-upload foto diri sendiri (sekarang dikenal sebagai super selfie) ke internet, meski dengan kamera sekali pakai (bukan smartphone), ke halaman Web pertama kali diciptakan oleh Australia pada September 2001, termasuk foto yang diambil di akhir 1990-an (ditangkap oleh Internet Archive pada bulan April 2004). Kemudian penggunaan awal selfie dapat ditelusuri pada tahun 2002.  Dan ini pertama kalinya muncul di sebuah forum internet Australia (ABC online) pada tanggal 13 September 2002. Selfie kemudian menjadi sangat populer, pada tahun 2013 selfie sempat menjadi Word of The Year 2013 versi Oxford Dictionary. Pada Maret 2014 silam, Time merilis daftar kota-kota dengan penduduk paling gemar mengambil pose solo di seluruh dunia. Peringkat pertama diduduki oleh Makati City, Filipina, dengan prevalensi 258 pengambil selfie per 100.000 orang. Ada beberapa kota di Indonesia juga yang masuk dalam daftar tersebut. Di peringkat 18, bertengger Denpasar dengan prevalensi 75 per 100.000 orang, peringkat 43 ada Yogyakarta dengan prevalensi 51 per 100.000 orang, dan Bandung di peringkat 88 dengan prevalensi 33 per 100.000 orang.

Jika dikaji dengan fenomenologi klasik, fenomena selfie terjadi atas dasar kesadaran individu tersebut dan dimaknai sesuai dengan objek foto selfienya oleh orang lain tanpa adanya pengaruh dari pengalaman orang yang memaknainya, Foto selfie diatas akan dimaknai oleh orang-orang sebagai foto seorang lelaki dan seekor beruang sedang berfoto bersama.

Namun jika foto tersebut dikaji dalam fenomenologi persepsi, dimana Ponty menyatakan bahwa pengalaman itu subjektif, bukan objektif dan percaya bahwa subjektivitas merupakan bentuk penting sebuah pengetahuan. Maka seseorang akan memaknai foto tersebut menjadi foto yang sangat menyeramkan karena persepsi manusia terhadap beruang adalah seekor binatang buas yang berbahaya.

Sedangkan dalam fenomenologi hermeneutik, pengalaman alami terjadi begitu saja ketika orang hidup di dunia, dimana dinyatakan bahwa realitas terhadap sesuatu tidak dapat diketahui hanya melalui analisis yang cermat, tetapi oleh pengalaman alami yang terbentuk melalui penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Foto tersebut bisa menjadi foto yang sangat menarik karena kita tidak bisa mengetahui secara pasti realita dalam foto tersebut dan pengalaman yang tergambar dari foto tersebut terjadi secara alami dimana seorang lelaki dapat berfoto bersama dengan seekor beruang.

 

Fenomenelogi : Studi Literatur

 

Judul: The Lived Experiences of Chinese International Students Preparing for The University-to-Work Transition: A Phenomenology (Disertasi)

 

Oleh: Lertora, Ian M. Sam Houston State University, ProQuest Dissertations Publishing, 2016.

 

Tujuan:  untuk memberikan suara kepada siswa internasional China yang sedang mempersiapkan transisi universitas-ke-kerja untuk lebih memahami pengalaman mereka sebagai siswa internasional di Amerika Serikat, khususnya jenis stres transisional yang mereka alami, bagaimana mereka mengatasi stres ini, dan sejauh mana mereka menganggap universitas itu membantu dalam membantu mereka menghadapi tantangan transisi.

 

Penggunaan fenomenologi:

Menggunakan pendekatan fenomenologis transendental untuk penelitian kualitatif sehingga mahasiswa internasional Cina memiliki kesempatan untuk berbicara tentang pengalaman dan kebutuhan mereka. Inti dari fenomena ini dijelaskan menggunakan tanggapan verbal para peserta untuk pertanyaan-pertanyaan utama.

 

Konsep fenomenologi transendental berakar pada tulisan-tulisan filosofis Edmund Husserl dan dikembangkan lebih lanjut oleh Moustakas (1994) menjadi pendekatan metodologis kualitatif yang membantu peneliti memberikan suara kepada peserta dengan menggunakan kata-kata dan bahasa peserta sebagai data. Peneliti menggunakan fenomenologi transendental untuk menemukan makna dan esensi fenomena yang akrab dan tidak dikenal oleh peneliti, sebagaimana disuarakan oleh orang-orang yang hidup dalam fenomena tersebut.

 

Mekanisme:

  1. Bracketing;

Menurut Moustakas (1994), bracketing dimulai ketika peneliti mencapai suatu titik mental yang disebut epoche, “melihat semua hal sebagai hal yang baru diterima untuk pertama kalinya.”

  1. Participant Selection;
  2. Demographic Questionnaire;

Kuesioner memberi peserta kesempatan untuk berbagi informasi tentang bidang-bidang berikut: (a) usia peserta; (b) jenis kelamin; (c) negara asal; (d) perjalanan internasional sebelumnya; (e) jangka waktu di AS; (1) tahun pengalaman kuliah; (g) lokasi kerabat di AS; (h) jika mereka memiliki rencana yang tersisa di AS setelah lulus; (i) Jika mereka telah menggunakan layanan konseling di kampus; dan (j) apakah mereka menggunakan layanan karir berbasis kampus. Ada lima item berskala Likert yang dinilai sebagai berikut: (1) pengalaman mereka dengan layanan konseling kampus; (2) pengalaman mereka dengan layanan karier berbasis kampus jika mereka telah digunakan; (3) tingkat kemahiran bahasa Inggris yang mereka rasakan; (4) Saya merasa didukung oleh universitas saya selama transisi saya yang akan datang dari universitas ke tempat kerja; dan (5) lingkari angka yang mewakili tingkat kemahiran bahasa Inggris Anda. Sebuah pertanyaan terbuka tunggal dimasukkan di akhir kuesioner demografi, yaitu, “Apa yang terlintas dalam pikiran ketika Anda berpikir tentang transisi dari menjadi seorang siswa menjadi seorang profesional?”

  1. Focus Group Semi Structured Interview;

Pertanyaan-pertanyaan yang dipilih untuk digunakan untuk wawancara kelompok fokus adalah: (a) pemikiran apa yang muncul ketika Anda berpikir tentang transisi dari menjadi mahasiswa menjadi seorang profesional; (b) ketika dalam karir perguruan tinggi Anda mulai mempertimbangkan kehidupan Anda setelah lulus kuliah; (c) apa pengaruh terbesar Anda terhadap keputusan apa yang harus dilakukan setelah lulus; (d) bagaimana rasanya semakin dekat dengan akhir pengalaman kuliah Anda di AS; (e) apa yang telah Anda lakukan untuk merencanakan karier Anda setelah lulus; (f) Jenis dukungan apa yang Anda ketahui di universitas Anda; (g) jenis dukungan apa yang Anda terima dari universitas Anda; (h) apa yang memotivasi Anda untuk mencari dukungan dari universitas; dan (i) tantangan apa yang Anda alami dalam mencari dukungan dari universitas dan bagaimana Anda mengatasi tantangan tersebut?

  1. Coding Team Orientation and Bracketing;
  2. Analysis of Focus Group Data;
  3. Individual Semi-structured Interview;
  4. Analysis of Individual Interview Data.

 

KESIMPULAN

 

Semiotika berkembang mengikuti disiplin ilmu lainnya yang ada. Contohnya pada ilmu marketing, peran ini terlihat dari pengembangan logo dan menjadikan sebuah produk tidak hanya untuk dikonsumsi namun memiliki nilai tambah dalam mengkonsumsinya. Pada ilmu arsitektur pembangunan  sebuah bangunan didasarkan pada filosofi, trend dan latar belakang arsitek nya. Tanda sebagai satu alat untuk berkomunikasi memiliki makna yang beragam. Pemaknaan terhadap tanda dilatarbelakangi oleh berbagai hal seperti budaya, pengalaman, gagasan, emosi, dll. Semiotik dan fenomenologi membantu kita untuk dapat memahami hal tersebut. Dalam sudut pandang teori semiotika, berbagai masalah komunikasi yang seringkali terjadi adalah akibat adanya kesalahpahaman atau perbedaan dalam memberikan makna yang dipengaruhi oleh sifat kode-kode semiotika dan cara menggunakan tanda-tanda tersebut. Sebagai sebuah teori komunikasi, teori semiotika dapat digunakan untuk menganalisa secara virtual berbagai hal yang menjadi bagian dari bidang komunikasi yang mencakup interaksi, media, organisasi, konteks kesehatan, budaya populer atau budaya pop, dan lain sebagainya.

 

Disadur dari www.pakarkomunikasi.com, Analisis semiologi bertujuan untuk meneliti tentang bagaimana bagian teks (kata, gambar, film, iklan majalah, lagu, dan lain-lain) digunakan untuk membentuk suatu makna. Mengingat teks adalah suatu bentukan, analisis ini dapat membantu untuk mengungkapkan makna dibalik teks tersebut. Oleh karena itu, semiotika dapat menjadi sebuah metode untuk membentuk serta menganalisa bagaimana komunikasi bekerja. Berikut adalah tahapan-tahapan untuk membantu kita dalam menganalisa suatu tanda (baik itu teks, iklan, film, dll) :

  1. Mengulas secara singkat sebuah pesan dalam suatu media.
  2. Mengidentifikasi signifiers dan signified.
  3. Mengidentifikasi paradigma (kelas atau kelompok yang dipilih) yang telah digali.
  4. Mengidentifikasi syntagms (bagian linear antar unsur – unsur) yang ada.
  5. Mengidentifikasi prinsip yang bekerja dalam pesan atau teks.

 

Adapun tujuan dari mempelajari semiotika dan fenomenologi adalah dapat membuat kita memahami peranan simbol dalam membentuk suatu realitas sosial, dapat menyadarkan kita bahwa makna tidak dikirimkan kepada kita, namun kitalah yang secara aktif menciptakan makna berdasarkan kepada kode yang ada, Memahami tahapan analisis semiologi dan fenomenologi untuk menerapkannya di dalam kajian media, komunikasi visual, dan komunikasi massa.

 

Daftar Pustaka

 

Abidin, Z. 2006. Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat. Edisi Revisi Cet. Ke-IV. Bandung: Remaja Rosdakarya.

 

Hidayat, A.A. 2009. Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda, Bandung: Remaja Rosdakarya.

 

Husserl, E., 1963, Ideas: A General Introduction to Pure Phenomenology. Trans. W. R. Boyce Gibson. New York: Collier Books yang terarsip di https://plato.stanford.edu/entries/phenomenology/ dan diakses pada 20 November 2018.

 

Lertora, Ian M. 2016. The Lived Experiences of Chinese International Students Preparing for The University-to-Work Transition: A Phenomenology. Sam Houston State University, ProQuest Dissertations Publishing yang terarsip di https://remote-lib.ui.ac.id:2155/docview/1830797566?pq-origsite=summon dan diakses pada 21 November 2018.

 

Little, John. Stephen W. 1983. Theories of Human Communication. Second Edition. Wadworth Publishing Company. California.

 

Merleau-Ponty, M., 2012. Phenomenology of Perception, Trans. Donald A. Landes. London and New York: Routledge. Prior translation, 1996, Phenomenology of Perception, Trans. Colin Smith. London and New York: Routledge yang terarsip di https://plato.stanford.edu/entries/phenomenology/ dan diakses pada 20 November 2018.

 

Matusitz, Jonathan A. Cyberterrorism: A postmodern view of networks of terror and how computer security experts and law enforcement officials fight them The University of Oklahoma, ProQuest Dissertations Publishing yang terarsip di https://remote-lib.ui.ac.id:2155/docview/305303467?pq-origsite=summon dan diakses pada 21 November 2018.

 

Ning, Jing. 2013. CCTV-9’s coverage of the Iraq War and the evolution of English language television news in China. Rutgers The State University of New Jersey – New Brunswick, ProQuest Dissertations Publishing yang terarsip di https://remote-lib.ui.ac.id:2155/docview/1442199840?pq-origsite=summon dan diakses pada 21 November 2018.

 

Susanto, I.. Metode Semiotika yang terarsip di staff.ui.ac.id/internal/130536771/publikasi/metodesemiotika.pdf dan diakses pada 20 November 2018.

 

https://pakarkomunikasi.com/teori-semiotika-roland-barthes, diakses tanggal 20 November 2018.

https://tirto.id/selfie-bukan-cuma-soal-narsisisme-cEDL diakses tanggal 20 November 2018.

You may also like...

2 Comments

  1. sangat bermanfaat, makasih

  2. Bagus banget sangat bermanfaat, thanks

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *